Ketenangan Menangkap Ikan

Saya tidak berangkat untuk menang. Saya berangkat untuk mendengar. Saat pertama kali saya meluncurkan perahu fajar dekat pelabuhan Auckland, saya kira memancing soal angka—peluang, taruhan, bayaran. Tapi laut tidak bicara dalam statistik. Ia bicara dalam irama. Dalam keheningan antara gelombang, saat air menahan napas—Anda tak lagi melempar untuk ikan. Anda menunggu bersamanya. Saya belajar membaca pasang seperti puisi: pasang tinggi bukan hadiah—ia adalah jeda. Pasang rendah bukan kegagalan—ia adalah renungan. Anggaran saya tidak diukur dalam dolar per jam, tapi dalam menit keheningan antara lemparan. Dua puluh menit. Satu kopi. Tanpa layar. Saya berhenti mengejar tangkapan besar dan mulai memperhatikan yang kecil—kilau perak ikan snapper di batu, lompat tenang ikan mackerel saat senja. Ini bukan kemenangan di layar—they adalah momen yang terukir dalam ingatan. Saya bergabung dengan komunitas tak terlihat—not pada forum digital, tapi nelayan tua yang duduk di bangku dengan pancingnya dan tak berkata apa-apa. Mereka tersenyum dengan mata mereka. Kini, ketika orang lain menyebutnya ‘judi’, saya sebut ritual. Anda tak butuh lebih banyak umpan. Anda butuh lebih sedikit keributan. Laut tak memberi pada yang berteriak. Ia memberi pada yang menunggu. Biarkan lemparan berikutnya sunyi. Biarkan kemenangan berikutnya lambat. Biarkan kebahagiaan berikutnya tenang.